Ketika Rumah Menyakitkan: Trauma, Penyembuhan dan Advokasi Kekerasan Rumah…

Mengapa trauma itu merayap?

Trauma dari kekerasan rumah tangga bukan cuma luka yang kelihatan. Ia seperti aroma yang menempel di baju lama — kadang tiba-tiba muncul, mengingatkan pada malam-malam yang dingin, kata-kata yang menyakitkan, atau pintu yang dibanting. Bagi banyak orang, termasuk saya, trauma itu jadi teman yang tak diundang: muncul saat kita lagi santai, saat memeluk anak, atau bahkan saat mendengar ketukan pintu yang biasa. Yah, begitulah; tubuh dan pikiran menyimpan cerita yang tak selalu disampaikan dengan kata-kata.

Psikologi trauma menjelaskan bahwa otak kita berusaha melindungi diri dengan berbagai cara: mengunci memori, menguatkan kesiagaan, atau justru membuat kita mati rasa. Reaksi-reaksi ini normal jika konteksnya adalah ancaman nyata. Masalahnya, ketika ancaman itu berasal dari tempat yang seharusnya paling aman — rumah — maka kebingungan dan rasa malu kerap datang bersamaan. Perasaan bersalah sering mendahului pengakuan bahwa ada sesuatu yang salah.

Cerita kecil dari saya

Saya ingat suatu malam ketika suara gelas pecah membuat saya loncat setinggi-tingginya—padahal itu cuma suara dari televisi. Ketakutan itu bertahan beberapa menit sampai saya sadar benar-benar tidak ada bahaya. Lama-kelamaan saya belajar bahwa reaksi semacam itu bukan tanda kelemahan, melainkan tanda bahwa ada yang perlu diperhatikan. Saya memberanikan diri bercerita pada seorang teman dekat, dan dari situ perjalanan menuju penyembuhan dimulai, perlahan dan berantakan, tapi nyata.

Saya juga belajar bahwa tidak semua jalan keluar harus dramatis. Ada yang memilih pergi langsung, ada yang butuh waktu merencanakan, ada yang memilih tetap tinggal sambil mencari dukungan. Yang penting adalah pilihan itu datang dari posisi sadar dan aman, bukan dari rasa terperangkap. Dukungan kecil seperti telepon di tengah malam, kata-kata “aku di sini”, atau sekadar menemani ke konseling, bisa sangat berarti.

Langkah kecil menuju penyembuhan

Penyembuhan trauma bukan proses yang lurus. Ada hari baik, ada hari buruk. Tapi ada beberapa langkah praktis yang pernah membantu saya dan banyak orang lain: pertama, akui bahwa yang kamu rasakan itu nyata dan layak ditanggapi. Kedua, cari bantuan profesional—psikolog atau konselor trauma dapat membantu merangkai kembali fragmen-fragmen pengalaman yang terasa hancur.

Ketiga, bangun jaringan dukungan: teman, keluarga yang dipercaya, kelompok pendukung, atau layanan krisis. Saya menemukan kekuatan besar saat mengetahui saya tidak sendirian. Keempat, praktikkan perawatan diri yang konsisten: tidur cukup, makan sehat, bergerak sedikit setiap hari, dan belajar teknik grounding atau pernapasan saat kecemasan datang. Langkah-langkah ini sederhana tapi efektif untuk memberi tubuh sinyal bahwa lingkungan kini aman.

Terakhir, beri diri waktu. Kita sering berharap sembuh cepat karena hidup berjalan terus, tapi penyembuhan trauma butuh waktu kembang-kempis. Jangan paksakan diri untuk “normal” terlalu cepat; beri ruang pada prosesmu.

Advokasi: Bicara, Bantu, Ubah

Advokasi terhadap korban kekerasan rumah tangga bukan hanya tentang menyeret pelaku ke pengadilan — meskipun itu penting. Advokasi juga soal mengubah budaya diam, mendesain sistem dukungan yang mudah diakses, dan memastikan korban tidak disalahkan. Saya percaya perubahan besar bermula dari percakapan kecil: tetangga yang berani menanyakan kabar, guru yang peka, atau rekan kerja yang mendengarkan tanpa menghakimi.

Bagi yang ingin terlibat, banyak cara praktis: ikut relawan di shelter lokal, donasi, atau dukung kebijakan yang melindungi korban. Ada juga sumber daya online yang bisa jadi titik awal informasi dan bantuan, misalnya breakingthecycleofabuse, yang memberikan referensi dan langkah praktis untuk keluar dari siklus itu.

Intinya, bila rumah pernah menjadi sumber sakit, jangan biarkan rasa itu menjadi bagian dari identitas seumur hidup. Berbicara, mencari bantuan, dan menjadi suara bagi yang tak berdaya — itu semua langkah nyata menuju dunia di mana rumah benar-benar jadi tempat bertumbuh, bukan tempat terluka. Saya masih dalam perjalanan, dan saya percaya setiap langkah kecil punya arti. Kalau kamu sedang membaca ini dari tempat yang sulit, ketahuilah: ada jalan, dan kamu pantas mendapatkan bantuan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *