Kisahku Tentang Trauma Psikologi dan Penyembuhan Advokasi Kekerasan Rumah Tangga
Beberapa orang melihat trauma sebagai luka yang bisa dilihat dengan mata telanjang; mereka menunggu bekas luka itu di edukasi atau di foto-foto lama. Tapi aku tahu trauma bisa datang seperti bisik yang lembut, lalu menaruh beban berat di dada ketika kita mencoba melangkah. Malam-malam tertentu, hujan menggenangi jendela dan aku merasa seolah suara langkah kaki di lantai atas adalah ancaman yang kembali hadir, padahal tidak ada siapapun di sana. Aku belajar bahwa trauma bukan sekadar kenangan buruk; ia adalah pola otak dan tubuh yang mencoba melindungi diri, kadang dengan cara yang membuat kita bingung sendiri. Menyadari hal itu seperti membuka pintu kecil yang akhirnya membawa kita ke ruangan-ruangan yang lebih tenang, meski ada serpihan rasa takut yang masih ikut menumpang di pojok-pojok kamar jiwa. Dalam perjalanan hidupku, aku mulai memahami bahwa penyembuhan bukan garis lurus, melainkan serangkaian langkah kecil yang disusun dari keberanian untuk merasakan kembali, menata batas, dan memberikan ruang pada diri sendiri untuk bertumbuh.
Apa itu trauma bagi kita, sebenarnya?
Trauma psikologis bukan hanya soal memori yang mengganggu. Ia sering muncul sebagai reaksi tubuh: detak jantung yang meningkat tanpa sebab, tangan yang kaku saat seseorang mengangkat suara, atau keinginan untuk menghindar dari situasi yang mengingatkan pada masa lalu. Aku belajar bahwa kita bisa saja tampak kuat di luar, tetapi di dalam ada aliran emosi yang perlu didengar: takut, marah, kecewa, bahkan merasa lega setelah akhirnya mengucapkan kata-kata yang selalu terpendam. Pada beberapa hari, aku bisa tersenyum, lalu beberapa detik kemudian merasakan kepingan air mata yang tak bisa ditahan. Buruk atau baiknya tidak selalu jelas; yang paling penting adalah kita memberi jarak aman pada diri sendiri untuk merasakan apa yang perlu dirasakan dengan perlahan. Di lingkungan keluarga atau komunitas yang kurang memahami, stigma juga bisa menambah beban: aku pernah mendengar kalimat-kalimat yang tidak menenangkan, seperti ‘kamu terlalu sensitif’ atau ‘semua orang punya masa lalu, berhentilah curhat.’ Tapi aku akhirnya menemukan bahwa masalah ini tidak seharusnya dipikul seorang diri; mengakui adanya trauma adalah langkah pertama menuju penyembuhan yang lebih luas dan sehat.
Suasana yang aku ingat paling jelas adalah ketika aku menata ulang kebiasaan harian. Misalnya, pagi yang biasa dimulai dengan tegaknya napas panjang dan secangkir kopi hangat, lalu aku mencoba memberi diri sendiri jeda tiga menit sebelum memulai hari. Kamar yang dulu terasa kecil kini terasa sedikit lebih luas karena pintunya berusaha dibuka tanpa paksa. Ada momen lucu sekaligus menyentuh: aku pernah menuliskan daftar hal-hal yang membuatku merasa aman—seperti bau roti panggang, suara rainir di kaca jendela, atau detik-detik ketika hewan peliharaanku berisik karena mengejar matahari. Ketika hal-hal kecil ini dijadikan bagian dari rutinitas, aku merasa tubuh perlahan mengurai ketegangannya. Trauma mengajarkan kita bahwa penyembuhan tidak membutuhkan keajaiban, cukup kehadiran diri yang konsisten—seperti menjemput satu helai harapan dari keruwetan hari.
Bagaimana saya menapaki perjalanan penyembuhan?
Langkah pertama bagiku adalah mencari bantuan profesional yang bisa menenun ulang kisah traumaku tanpa menghakimi. Terapi tidak selalu mudah—terkadang memulai sesi terasa seperti menapak di atas lantai yang licin—tetapi aku belajar bahwa keamanan itu bisa dipupuk lewat kontrak kecil dengan diri sendiri: hadir di sesi, mengakui perasaan paling tidak menyenangkan, dan memberi waktu bagi otak untuk belajar cara merespons secara berbeda. Kami sering membahas napas, gerak, dan jarak aman; hal-hal sederhana yang bisa dilakukan di rumah sambil menunggu proses penyembuhan bekerja. Kedua, aku menulis buku harian sebagai cermin: aku menuliskan emosi tanpa menilai diri sendiri. Aku belajar bahwa membacanya nanti bisa mengurangi intensitas emosional saat ingatan datang kembali. Ketiga, aku mencari komunitas yang memahami, seperti kelompok dukungan, teman-teman yang berpikiran terbuka, atau aktivitas yang membangun rasa percaya diri. Rasa aman bukan soal menghapus masa lalu, melainkan mengubah cara kita berhubungan dengan masa lalu itu—sebagai bagian dari kita, bukan pengendali kita.
Di tengah perjalanan itu, aku menemukan sumber daya yang sangat membantu. Di satu titik, aku membaca tentang pentingnya literasi trauma dan hak kita sebagai korban kekerasan rumah tangga untuk mendapatkan perlindungan serta dukungan yang tepat. breakingthecycleofabuse menyuguhkan panduan praktis tentang langkah-langkah yang bisa kita ambil untuk melindungi diri, mencari bantuan, dan membangun ulang hidup kita. Momen itu terasa seperti menemukan alat yang tepat saat kita kehilangan arah: tidak menghapus luka, tetapi memberi kita cara untuk melangkah maju tanpa merasa bersalah karena masih merasakan sisa-sisa luka itu. Penyembuhan menjadi sebuah proses yang jika dirawat dengan sabar, bisa membawa kita pada hidup yang lebih bermakna, meski bayangan masa lalu tetap ada.
Advokasi sebagai bagian dari penyembuhan pribadi dan komunitas
Advokasi kekerasan rumah tangga bukan sekadar kampanye luar; ia juga cara kita membentuk diri secara internal. Ketika kita berbicara tentang hak-hak korban, mengedukasi teman, keluarga, dan tetangga, kita menanamkan pola pikir bahwa kekerasan tidak boleh diberi ruang. Aku belajar bahwa advokasi bisa dimulai dari hal-hal kecil: membangun batas yang jelas dalam hubungan, menyebarkan informasi tentang layanan bantuan, dan menawarkan dukungan praktis seperti menemani ke kantor layanan atau menyiapkan rencana darurat bagi teman yang membutuhkan. Kekuatan komunitas terletak pada kemampuan kita untuk saling menjaga: mendengar tanpa menghakimi, memberikan pilihan yang aman, dan menghormati keputusan orang lain tentang langkah yang ingin mereka ambil. Di jalanan kota yang ramai, aku sering melihat poster-poster kecil yang mengingatkan bahwa setiap langkah menuju keselamatan adalah sebuah kemenangan. Ada rasa bangga ketika kita bisa menjadi bagian dari perubahan, bukan karena kita sempurna, tetapi karena kita berkomitmen untuk tidak menyerah terhadap rasa takut dan diam yang dulu mengekang. Dan di saat kita mulai melihat bukan hanya diri kita sendiri yang berubah, tetapi juga teman-teman dan lingkungan sekitar, kita memahami bahwa penyembuhan tidak hanya soal menyelamatkan satu orang, melainkan menebarkan peluang bagi komunitas untuk pulih bersama.