Saya Tidak Sekadar Sembuh: Psikologi dan Advokasi Melawan Kekerasan Rumah Tangga
Kalau ditanya apa kabar, saya biasanya jawab, “Lebih baik, tapi nggak sempurna.” Itu jawaban yang jujur. Sembuh dari kekerasan rumah tangga itu bukan seperti ngilangin noda kopi di baju — sekali disikat, beres. Lebih mirip merapikan loteng yang udah lama banget ditinggal: banyak yang berantakan, ada barang-barang yang nyangkut di plafon, dan sesekali ketemu foto lama yang bikin napas tersengal. Di tulisan ini saya mau cerita sedikit tentang psikologi trauma, proses penyembuhan yang pelan, dan gimana saya bergeser dari korban jadi advokat — ya, dengan beberapa salah langkah dan jokes receh di antaranya.
Ngobrol tentang memori yang nggak mau pergi
Trauma itu licik. Dia nggak selalu muncul sebagai kilas balik dramatis di film. Kadang dia nyelinap lewat bau tertentu, suara panci jatuh, atau cara seseorang menutup pintu. Otak kita, terutama bagian yang ngatur rasa aman, bakal kerja lemburlah buat “mengamankan” diri. Dalam psikologi trauma ada istilah amygdala yang overdrive — gampang banget marah atau takut meski situasinya biasa. Dulu saya pikir saya kebanyakan drama. Sekarang saya tahu itu tubuh saya yang lagi ngoceh minta bantuan. Pentingnya: jangan ngeremehin reaksi diri sendiri. Itu bukan kelemahan; itu sinyal.
Healing itu nggak kayak overnight (sayangnya)
Penyembuhan butuh waktu, dan seringnya nggak linear. Ada hari-hari yang saya merasa bahagia karena bisa ngeteh tanpa takut, lalu tiba-tiba ada flashback yang bikin saya nangis di kamar mandi. Yang menolong saya adalah konsistensi kecil: tidur cukup, ngobrol ke terapis, nulis jurnal, dan menjaga boundary. Terapi bukan sulap, tapi dia kasih alat. Misalnya teknik grounding: fokus ke lima hal yang bisa kamu lihat, empat yang bisa kamu sentuh, tiga yang bisa kamu dengar — sounds cheesy, tapi works. Juga jangan lupa kasih toleransi ke diri sendiri; kita belajar lagi cara percaya pada orang dan dunia.
Ayo, kita ribut: advocacy yang berfungsi
Di titik tertentu saya sadar: kecemasan dan luka emosional saya nggak cuma masalah personal. Ini masalah sosial. Kekerasan rumah tangga terjadi karena struktur sosial yang memudahkan pelaku dan mempersulit korban. Jadi, saya mulai terlibat di komunitas lokal, ikut workshop, dan kadang-kadang nulis untuk orang-orang yang belum berani buka suara. Advokasi bisa bermacam-macam: setor tenaga ke shelter, bantu admin grup dukungan, atau sekadar share info penting. Kalau mau referensi, saya pernah nemu situs yang helpful buat pelajaran dan jaringan: breakingthecycleofabuse. Bukan promosi berbayar, cuma info bagus yang saya simpan di bookmark.
Hal-hal kecil yang bikin lega (dan kadang konyol)
Di antara rapat komunitas dan sesi terapi ada hal-hal receh yang nyelamatin saya: nonton komedi murahan sampai ketawa sampe perut pegal, masak makanan yang disukai tubuh (bukan cuma nafsu), dan nulis surat ke diri sendiri yang isinya pujian absurd. Suatu kali saya tulis, “Kamu hari ini nggak meledak. Kamu menang.” Boleh kan sok dramatis. Humor dan ritual kecil itu kayak plester di luka; nggak mengobati semuanya, tapi nambah kenyamanan buat melanjutkan hari.
Bukan hanya soal “selamat”, tapi juga memberi ruang
Saya ingin orang tahu: sembuh bukan berarti lupa atau jadi superhero. Sembuh berarti memberi ruang pada pengalaman, belajar strategi untuk hidup aman, dan berbagi kekuatan dengan orang lain. Advokasi buat saya bukan hanya aksi besar di jalan, tapi juga berbisik ke tetangga yang dicurigai korban: “Kamu aman bersamaku kalau butuh.” Kita perlu kebijakan publik yang melindungi korban, layanan kesehatan mental yang mudah diakses, dan pendidikan sejak dini soal relasi sehat. Jadi kalo kita pernah dimarahi karena “ribet”, mungkin kita lagi berinvestasi buat dunia yang lebih aman.
Terkadang saya kangen versi diri dulu yang polos dan percaya tanpa takut. Tapi sekarang saya bangga karena saya bertahan, belajar, dan mulai suarakan perubahan. Kalau kamu sedang baca ini dan ngerasa terjebak, ingat: kamu nggak sendirian, dan ada banyak cara mulai bergerak — perlahan atau kencang, tergantung tenaga hari ini. Ambil napas, cari seseorang yang bisa dipercaya, dan kalau perlu, minta bantuan profesional. Kita nggak sekadar sembuh — kita juga berjuang supaya lukanya nggak diwariskan ke generasi berikutnya.