A pa itu trauma? (yang singkat, bukan kuliah)
Trauma bukan cuma kenangan buruk yang terulang. Trauma adalah respons tubuh dan pikiran terhadap pengalaman yang membuat merasa terancam sampai ke tulang. Kadang muncul sebagai mimpi buruk, kadang sebagai reaksi panik tiba-tiba, kadang juga sebagai kebisuan—kamu berhenti percaya, bahkan pada diri sendiri. Saya pernah bertemu seorang teman lama yang tertawa saat bercerita, padahal matanya kosong ketika menyebut kata “rumah”. Itu menempel di kepala saya: tertawa untuk menutupi rasa sakit. Itu juga trauma.
Sakitnya? Iya. Tapi bisa sembuh kok.
Penyembuhan trauma itu seperti merawat pohon yang patah di taman. Tidak selalu lurus kembali. Tapi dengan perawatan, ia bisa bertumbuh dan memberi naungan lagi. Prinsip dasarnya: aman dulu. Ketika seseorang keluar dari hubungan kekerasan rumah tangga (KDRT), langkah pertama bukan langsung “move on” atau “maafkan”, melainkan menciptakan ruang aman—fisik dan emosional. Dalam ruang aman itu, denyut jantung menurun, pikiran mulai tidak panik, dan otak perlahan bisa memproses apa yang terjadi.
Cara-cara yang nyata: psikologi dan tekniknya
Terapi berbasis bukti, seperti terapi perilaku kognitif (CBT) dan EMDR, seringkali membantu korban trauma memproses ingatan traumatis tanpa merasa kembali ke momen itu secara penuh. Teknik grounding sederhana—misalnya menghitung benda di sekitar atau merasakan telapak tangan—bisa membantu saat panik menyerang. Olahraga, tidur yang cukup, dan rutinitas juga penting. Jangan remehkan hal kecil: tidur yang baik mengembalikan kapasitas regulasi emosi, membuat terapi jadi lebih efektif.
Saya ingat satu sesi terapi kelompok di mana seorang perempuan membagikan moment kecil yang berarti: menanam bunga di balkon setelah bertahun-tahun tidak memegang tanah. Ia bilang, “Dari situ saya belajar merawat sesuatu tanpa takut akan disakiti lagi.” Adegan kecil itu terasa seperti kemenangan besar.
Advokasi: kenapa kita semua perlu terlibat (bukan cuma korban)
Advokasi terhadap kekerasan rumah tangga bukan hanya soal membantu individu yang sedang mengalami; ini soal merombak struktur yang memungkinkan kekerasan itu terjadi dan tetap tersembunyi. Kebijakan publik, akses ke layanan hukum dan kesehatan mental, serta edukasi publik—semua itu bagian dari puzzle. Kita butuh ruang aman di lingkungan kerja, sistem hukum yang responsif, dan layanan kesehatan mental yang mudah diakses. Tanpa ini, orang yang mencoba sembuh seringkali kembali terjebak karena faktor eksternal.
Kalau kamu bertanya, “Apa yang bisa aku lakukan?” — jawabannya beragam: dengarkan tanpa menghakimi, bantu akses layanan profesional, dukung organisasi yang bekerja di garis depan, dan ikut menyuarakan perubahan kebijakan. Bahkan berbagi informasi dari sumber terpercaya bisa membantu. Misalnya, jika kamu ingin membaca lebih banyak atau memberi rujukan untuk seseorang yang butuh, situs seperti breakingthecycleofabuse punya banyak materi berguna.
Beberapa catatan akhir (personal dan ringan)
Saya tidak mau terdengar optimis palsu. Penyembuhan bisa lambat. Ada hari-hari mundur, ada juga hari-hari kecil yang terasa seperti lompatan. Saya percaya pada proses yang perlahan tapi konsisten—bahwa dukungan yang tepat pada waktu yang tepat bisa mengubah arah hidup seseorang. Jika kamu korban, ingat: bukan kamu yang salah. Jika kamu teman atau keluarga, pelan-pelan saja. Tanyakan apa yang mereka butuhkan, dan terima jawabannya. Jangan paksakan solusi.
Di akhir hari, penyembuhan itu personal dan kolektif. Personal—karena tiap orang memiliki perjalanan berbeda. Kolektif—karena kita hidup di komunitas yang saling mempengaruhi. Ketika satu orang berani berbicara, orang lain mungkin menemukan keberanian juga. Ketika sistem mulai berubah, lebih banyak orang mendapatkan kesempatan untuk sembuh. Itu yang saya harapkan: lebih banyak ruang aman, lebih banyak suara yang didengar, dan lebih sedikit cerita yang harus ditutup rapat-rapat.