Saya masih ingat awalnya seperti kabut: takut, bingung, dan kadang menertawakan diri sendiri karena menganggap semua itu “biasa”. Sekarang, menulis ini, saya sadar betapa panjangnya perjalanan dari bertahan hidup menuju hidup yang benar-benar hidup. Artikel ini bukan panduan medis, melainkan curahan hati dan pengetahuan ringan tentang psikologi trauma, penyembuhan, dan advokasi kekerasan rumah tangga—dengan harapan ada yang merasa lebih ringan membaca pengalaman saya.
Memahami Psikologi Trauma: Bukan Cuma Luka Fisik
Trauma setelah kekerasan rumah tangga sering kali berakar dalam cara otak dan tubuh kita mengingat kejadian yang mengancam keselamatan. Reaksi seperti hiper-vigilance, mimpi buruk, rasa kosong, atau menghindar bukan karena “kelemahan”; itu mekanisme bertahan hidup. Saya pernah merasa malu karena terus waspada padahal tidak ada bahaya saat itu juga—yah, begitulah tubuh menabung ancaman untuk berjaga-jaga.
Sesi terapi membantu saya memahami bahwa memori trauma tidak linear. Kadang Anda baik-baik saja selama berminggu-minggu, lalu tiba-tiba aroma tertentu atau lagu lama memicu kembali kecemasan yang intens. Ini normal dalam kerangka psikologi trauma, dan mengenali pola itu adalah langkah pertama agar kita bisa merencanakan respons yang lebih aman untuk diri sendiri.
Cerita saya: Bangkit Pelan-pelan
Keluar dari hubungan yang menyakitkan itu seperti belajar berjalan lagi di tanah yang sama yang dulu membuatmu terjatuh. Saya punya hari-hari produktif dan hari-hari di mana bangun dari tempat tidur terasa seperti mendaki gunung. Salah satu hal kecil yang membantu saya adalah menetapkan “tugas kecil”—mencuci piring, menulis satu paragraf, atau berjalan 10 menit di sekitar blok rumah.
Ada momen ketika saya merasa sangat lelah sampai berpikir, “mengapa saya tidak pulih cepat?” Lalu teringat bahwa penyembuhan bukan kompetisi. Teman yang mendampingi saya sering bilang, “satu langkah hari ini sudah baik”. Ucapan sederhana itu berulang kali menjadi jangkar.
Advokasi: Suara yang Tak Boleh Padam!
Membicarakan kekerasan rumah tangga secara publik adalah bentuk penyembuhan kolektif. Ketika saya mulai ikut kelompok pendukung, saya menemukan kekuatan baru—bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang lain. Advokasi bisa berbentuk memberi informasi, mendampingi korban menuju layanan hukum, atau sekadar menjadi telinga yang mendengarkan tanpa menghakimi.
Sumber daya online juga penting; saya sering membagikan link ke situs-situs yang terpercaya untuk orang yang mencari bantuan. Salah satu yang saya rekomendasikan adalah breakingthecycleofabuse, karena bahasanya mudah dimengerti dan ada banyak langkah praktis bagi korban dan pendamping.
Langkah-langkah Kecil yang Nyata
Penyembuhan bukanlah proses instan, tapi ada langkah nyata yang bisa diambil: mencari terapis trauma, bergabung dengan kelompok pendukung, membuat rencana keselamatan, atau mengurus dokumen hukum bila perlu. Untuk saya, journaling sederhana—mencatat perasaan, kemajuan, dan kemunduran—membantu memetakan pola dan memberi bukti bahwa kemajuan itu nyata, sekecil apapun.
Selain itu, advokasi diri juga penting: belajar mengatakan “tidak” tanpa merasa bersalah, mengatur batas sehat, dan belajar mempercayai kembali naluri sendiri. Pelan-pelan, saya mulai mengerti bahwa suara saya berharga. Mengangkat suara itu juga berarti memberi ruang bagi orang lain untuk berani melakukan hal yang sama.
Aku ingin menutup dengan kata yang sederhana: ada harapan. Jalan itu tidak mulus, penuh liku dan rembesan luka lama, tapi ada juga momen-momen kecil penuh cahaya—tawa yang benar-benar lepas, tidur nyenyak tanpa gangguan, atau bertemu teman yang melihatmu tanpa rasa jijik. Jika kamu sedang membaca ini dari posisi yang sulit, izinkan diri untuk berharap. Kita tidak sendirian, dan setiap langkah kecil adalah kemenangan.