Mengakui Bekas yang Tak Terlihat
Saat menulis ini aku lagi duduk di kursi kecil di pojok kamar, kopi sudah nguap setengah karena sibuk menulis dan menoleh-noleh tiap ada suara pintu. Ada sesuatu yang selalu kurasakan setelah keluar dari situasi kekerasan rumah tangga: bekasnya nggak selalu berupa memar yang kelihatan. Seringkali yang tersisa adalah rasa cemas di lutut saat mendengar pintu diketuk keras, atau napas yang tiba-tiba menegang kalau ada suara yang mirip teriakan. Itu namanya trauma, dan kadang ia berbisik pelan sampai kita nggak sadar sudah membiarkannya mengatur hari.
Mengapa trauma terasa menempel?
Secara sederhana, trauma merusak rasa aman dasar. Otak kita, yang sejatinya ingin menjaga hidup, jadi hiper-berguna dalam mode “bahaya” — jadi lebih waspada, lebih sulit tidur, lebih gampang kaget. Kadang aku geli sendiri ingat reaksiku dulu, seperti membuka kulkas seolah-olah di dalamnya ada alarm (gue lupa kenapa, mungkin lapar), atau kebiasaan menunda telepon karena takut berinteraksi. Emosi seperti malu, bersalah, atau menyangkal seringkali datang sebagai paket bundel. Dalam psikologi, kita bicara tentang flashback, disosiasi, dan hipervigilance — istilah medisnya serius, tapi hidupnya terasa bodoh dan menyiksa.
Bagaimana penyembuhan dimulai?
Penyembuhan bukan soal ‘keluar dan langsung sembuh,’ melainkan proses kecil yang berulang. Untukku, langkah pertama adalah mengizinkan diri merasa — menangis di kamar mandi sambil nasi hangat atau marah dengan volume maksimal di mobil (iya, polisi tetangga mungkin mengintip). Terapi membantu: CBT (Cognitive Behavioral Therapy) mengajarkan cara menantang pikiran (itu nggak kuasa atas diriku), EMDR membantu memproses kenangan yang mengikat tubuh. Ada juga terapi somatik yang fokus ke tubuh: belajar bernapas, merasakan tanah di bawah kaki, atau menggoyang-goyangkan tangan sampai rasa tegang mengendur.
Sambil jalan, aku juga belajar teknik grounding sederhana: menyebut lima benda yang kulihat, empat suara yang kudengar, tiga hal yang bisa kuminum, dua bau, satu rasa. Kadang absurd, tapi berhasil menghentikan pikiran yang mau kabur ke masa lalu. Dukungan teman atau kelompok juga penting — mendengarkan cerita orang lain membuat kita tahu kita nggak sendirian. Jika butuh, ada sumber daya online dan organisasi seperti breakingthecycleofabuse yang bisa jadi titik awal untuk mencari bantuan.
Peran advokasi: Apa yang bisa kita lakukan?
Advokasi bukan cuma soal berteriak di depan gedung pemerintahan. Itu juga tentang mempercayai orang yang bercerita, ikut mendukung lembaga lokal, atau belajar cara membuat rencana keselamatan. Di lingkungan kecil, advokasi bisa berupa menyediakan tempat bagi teman yang butuh ngungsi semalam, menemaninya ke pertemuan hukum, atau sekadar mengirim pesan yang menenangkan. Pendidikan juga penting: kita perlu meluruskan mitos seperti “kalau korban diam berarti setuju” — banyak yang memilih diam karena ketakutan atau manipulasi emosional.
Di tingkat kebijakan, advokasi menuntut dukungan untuk layanan kesehatan mental yang terjangkau, akses ke hotline, dan peraturan yang melindungi korban dari pembalasan. Saya selalu tersenyum kecut membayangkan absurdnya birokrasi — seperti harus mengisi 17 formulir saking manusiawi sistem kita. Tapi langkah kecil yang konsisten bisa mengubah itu; suara kolektif seringkali yang memaksa perubahan.
Catatan untuk yang sedang berproses
Kepada siapa pun yang membaca ini dan sedang berusaha pulih: ini bukan sprint. Hari-hari baik itu nyata, dan hari-hari buruk juga bagian dari peta. Izinkan dirimu merayakan hal-hal kecil—menyelesaikan tugas sederhana, membeli baju baru, atau menertawakan meme konyol sampai perut kram. Jangan malu minta bantuan; menerima bantuan itu bukan kelemahan, itu strategi bertahan. Dan kalau kamu butuh, tulis daftar orang yang bisa dihubungi saat panik, simpan di tempat yang aman.
Aku belajar bahwa pulih itu tentang membangun ulang rasa aman, satu kebiasaan kecil sekaligus: tidur di ruangan yang berbau bersih, menata ulang kamar supaya terlihat seperti ruang yang memilih kita, bukan tempat yang penuh memori buruk. Dengan waktu dan dukungan, bekas itu jadi cerita yang tak mengendalikan setiap bab. Kita tidak harus kembali ke yang dulu; kita bisa merangkai versi baru yang lebih lembut untuk diri sendiri.